Ditulis Oleh : DM.ALam, STP
Bengkulu merupakan
salah satu provinsi yang terkenal dengan banyaknya jumlah babi yang menyerang
tanaman warga, bahkan di pemukiman penduduk pun menjadi sasaran serangan babi. Bengkulu memiliki kawasan hutan cukup luas maka tidak
mengherankan banyaknya jumlah babi berkeliaran. Terutama saat ini, hutan-hutan
yang ada umumnya bukan hutan primer tapi hutan belukar yang disukai babi hutan. Hutan belukar ini umumnya tidak produktif, bekas
kebun penduduk atau lahan yang sudah tidak digarap lagi. Jenis babi
yang menjadi hama di Bengkulu adalah babi hutan, dikenal dengan sebutan “celeng”.
Lokasi inilah yang saat ini menjadi
lokasi transmigrasi karena semakin sulitnya pengadaan lokasi untuk pemukiman. Ketidakseimbangan
ekosistem seperti rantai makanan yang mulai terputus, berkurangnya harimau dan
ular sebagai pemangsa babi hutan mengakibatkan semakin banyaknya jumlah babi
hutan. Serangan
babi yang merusak tanaman menjadikannya tergolong hama begitupula bagi masyarakat transmigrasi. Tanaman yang rusak
sebelum waktu panen tiba menurunkan pendapatan masyarakat setempat.
Pengendalian yang dilakukan saat ini
umumnya dengan memburu dan mematikannya (membunuh) dengan benda tajam, cara ini
membutuhkan banyak tenaga, waktu dan hasil buruan rendah. Pengendalian yang
efektif dan efisien dengan jaring jerat diikuti gropyokan. Pengendalian hama
babi ditujukan untuk mengurangi masalah hama yang merusak tanaman pertanian.
Lokasi transmigrasi yang berpeluang terserang hama babi membutuhkan Sumber Daya
Manusia (SDM) berkualitas untuk mencegah dan mengendalikan bertambahnya hama
babi.
Hal
inilah yang mendorong Balatrans Bengkulu memprogramkan pelatihan Pengendalian
Hama Babi. Kegiatan ini didukung BBPLK (Balai Besar Pengembangan Latihan
Ketransmigrasian) Jakarta dengan memonitor kegiatan pelatihan yang dilaksanakan
9 – 13 Oktober 2012 di UPT Renah Kandis,
Kecamatan Pagar Jati, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu. Kabupaten
Bengkulu Tengah merupakan pemekaran dari Bengkulu Utara, dengan ibukota Karang
Tinggi, Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2008.
Tujuan kegiatan monitoring ini diantaranya untuk mengetahui
proses pelaksaanaan pelatihan, apakah sudah sesuai dengan modul yang disusun
oleh BBPLK dengan penerapannya di lokasi, mengetahui sejauhmana manfaat dan
efektivitas pelatihan dan kerjasama masyarakat. Monitoring ini pun untuk
perbaikan modul ke depan agar sesuai dan mudah diterapkan di lokasi, sebagai
acuan pelatihan sejenis di lokasi lain.Sasaran pelatihan pengendalian hama babi
diantaranya agar diketahuinya kendala-kendala yang ditemui dalam pelaksanaan,
terdeteksinya berbagai aspek permasalahan dalam proses pelaksanaan dan
penerapan modul, teridentifikasi kebutuhan masyarakat, diketahui kemampuan sumber daya alam, sumber daya
manusia dan sumber daya buatan yang
mndukung jalannya pelatihan. Babi hutan di Indonesia terdapat berbagai jenis diantaranya :
Tabel 1. Jenis Babi Hutan di Indonesia
No.
|
JENIS BABI
|
CIRI-CIRI
|
GAMBAR
|
1.
|
Babi Putih
(Sus Scrofa.L)
|
Bertubuh besar (100-200 kg),
panjang mencapai 2 meter, tinggi sekitar 75 cm, leher panjang,bagian kepala
ditumbuhi rambut/bulu lebat dan panjang, punggung/pantat lebih lebar dari
dada
|
|
2.
|
Babi Abu-Abu
(Sus barbatus.M)
|
Bertubuh sedang (< 120
kg), panjang (< 150 cm), leher pendek, rambut/bulu agak kasar dan
panjang tumbuh pada bagian atas leher sampai punggung, bagian punggung/pantat
lebih lebar dari dada
|
|
3.
|
Babi Hitam
(Sus vemucocus .M)
|
Tubuh kecil, pendek, ramping,
berat 60 kg,panjang tubuh (< 100 cm), rambut/bulu berwarna hitam,
kasar, kaku dan pendek, tumbuh di atas leher sampai punggung, leher sangat
pendek, bagian punggung/pantat lebih sempit daripada dada.
|
|
Habitat sebagai tempat hidup, tempat
bermukim, tempat membuat sarang dan tempat beristirahat saat babi hutan tidak
mencari makan, antara lain:
a. Hutan primer atau belukar, umumnya masih lebat, terdapat berbagai jenis
tumbuhanyang tinggi dan besar dan banyak semak belukar
b. Hutan kecil, hutan yang tidak terlalu luas, terdapat berbagai jenis
tumbuhan yang tidak besar, belum terlalu tinggi, ditumbuhi semak belukar.
c. Semak belukar, area yang ditumbuhi semak-semak, tidak terdapat pohon yang
tinggi.
d. Padang alang-alang yang dekat dengan sumber makanan
Beberapa hal-hal penting dari
kegiatan monitoring diantaranya:
1. Informasi di Lapangan
a. Rendah Kandis adalah daerah yang dikelilingi hutan dan bukit yang banyak
ditumbuhi tanaman sawit, karet, kopi, dan durian.
b.Batas wilayah UPT Renah Kandis di sebelah utara berbatasan dengan Desa
Talang Dono, sebelah selatan dengan Desa Karang Are, sebelah barat dengan Desa
Renah Kandis dan di sebelah Timur dengan Tebing Linggau dan PT RAA (Riau Agri
Andalas).
c. Kondisi lokasi yang dikelilingi hutan dan bukit memungkinan babi hutan
berkembang biak dan menjadi hama bagi tanaman warga. Di lokasi ini sebagian
sawitnya dikelola oleh PT RAA (Riau Agri Andalas).
d. Renah Kandis merupakan lokasi yang subur dan memiliki sumber mata air yang
jernih. Saat ini terdapat 4 (empat) bak penampung air yang mampu mengaliri
setiap rumah warga.
Gambar 2. Bak Penampungan air dari
mata air
yang disalurkan melalui pipa ke rumah warga
e. Jalan masuk ke lokasi ini cukup sulit dilewati saat hujan karena licin,
bergenang dan tidak rata sebagian jalan menanjak berbatu. Jalan desa tergolong
cukup bagus, rata dan akan ada perbaikan dari Pemerintah setempat.
Gambar 3. Kondisi jalan masuk ke lokasi renah kandis
(jalan sebagian bergenang, licin
dan tidak rata)
f. Aksebilitas ke lokasi ini, yaitu:
Tabel 2. Aksebilitas ke lokasi
Akses ke-
|
Jarak (Km)
|
Sarana Angkutan
|
Waktu
Tempuh
|
Kondisi Jalan
|
Prov. Bengkulu
|
50
|
roda 2 dan
roda 4 |
+ 1 jam
|
Jalan aspal
|
Kab.Bengkulu Tengah
|
40
|
roda 2 dan
roda 4 |
+ 2 jam
|
Jalan aspal
|
Renah Kandis – Kec.Pagar Jati
|
15
|
roda 2 dan
roda 4 |
+ 2,5 jam
|
Jalan tanah
|
g. Lokasi transmigrasi di daerah ini,
terdiri dari 4 (empat) blok yaitu A, B, C dan D. Blok A yang terdekat dari desa
Rendah Kandis hanya berjarak + 1-2 km. Kondisi ini secara sosial ekonomi
mempermudah warga transmigran UPT Renah Kandis.
h. Kegiatan pelatihan dihadiri oleh Kepala Balatrans Bengkulu dan Kades Renah
Kandis.
Gambar 4. Kegiatan Pelatihan
Pengendalian Hama Babi
dihadiri oleh
Kabalatrans dan Kades Renah Kandis
i. Tempat pelatihan sangat darurat, hanya dibuat dari terpal oleh warga
sehingga bocor saat hujan turun. Kegiatan pelatihan terutama pemberian teori
menjadi terganggu karena kondisi tersebut.
Gambar 5. Kondisi kelas sangat
darurat
(dibuat seperti tenda
dari kayu dan terpal dan bocor ketika hujan )
2.
Permasalahan di lokasi
a.
Hama babi yang merusak
tanaman warga
Warga
transmigrasi di Renah Kandis mengeluhkan keberadaan babi
hutan. Tanaman warga banyak yang terserang babi hutan terutama sawit dan
singkong menjelang malam hingga dini hari. Penanganan dari Pemerintah setempat
terhadap hama babi hutan belum ada sehingga warga masyarakat hanya mengandalkan
cara tradisional.
b. Cara tradisional secara individu
Warga trans dari
Pulau Jawa belum terbiasa menangani keberadaan babi hutan yang setiap waktu
mengintai. Terlebih daerah-daerah di
Bengkulu terkenal dengan populasi babi hutan yang masih besar. Mereka
dapat belajar dari warga sekitar, terutama dari desa Renah Kandis dengan cara
tradisional yang umumnya digunakan diantaranya:
1) Memasang baju bekas atau orang-orangan sawah di pohon, ranting, dan tengah
area pertanian dengan dikaitkan tali penarik, ditambah dengan kaleng-kaleng
bekas berisi batu yang digantungkan sehingga berbunyi saat ditarik, jika babi
hutan mendengar bunyi gaduh maka akan pergi.
2) Bambu dibelah dua, bagian dalamnya menjadi bagian luar, ditancapkan ke
tanah berbentuk lengkungan setengah lingkaran, penancapan dibuat berselang
seling antara satu bambu dengan lainnya. Jika babi hutan menabrak pagar ini
diharapkan akan terpelanting.
3) Menggunakan rambut manusia yang dibakar, dikumpulkan dari tukang pangkas,
kemudian dijepit di bambu yang dibilah ujungnya, ditancapkan bambu-bambu
tersebut berkeliling memagari area pertanian. Babi umumnya tidak bau menyengat
seperti rambut dibakar, wewangian berbau menusuk dsb.
4) Menyebarkan kotoran kambing dan air seni manusia di dekat pagar tanaman, diharapkan
babi akan menyingkir karena bau kotoran tersebut.
5) Mengecat batang sawit dengan kapur barus, diharapkan babi akan menyingkir
karena bau kapur barus yang kuat.
Cara
tradisional tersebut cukup efektif akan tetapi umumnya masih dilakukan secara
individu sehingga masih terbatas pengendalian di area tertentu, belum
menyeluruh di area yang lebih luas. Umumnya dipasang di tempat-tempat yang
selalu dilewati babi hutan karena babi selalu melewati jalan yang sama.
3. Pelaksanaan Pelatihan
a. Teori Pelatihan Pengendalian Hama Babi dan Materi Modul
1) Pelatihan ini berjudul ”Pengendalian Hama Babi” karena
lebih mengedepankan praktek pemburuan babi. Kegiatan praktek dibantu oleh 2
(dua) orang pemburu terlatih sebagai narasumber. Secara teori sebagian
masyarakat di Bengkulu dianggap sudah mengerti dan terbiasa berhadapan dengan
babi hutan. Teori diberikan oleh PSM Balatrans sekilas tentang pengenalan jenis
babi, tanaman yang tidak disukai dan disukai oleh babi dan cara pemasangan
perangkap (lapon).
Gambar 6. Pemburu terlatih dan pengajar (PSM)
Balatrans Bengkulu
sebagai narasumber memberikan materi strategi penangkapan
dan pemasangan lapon/jerat hama babi
2) Materi pelatihan ditambah cara pembuatan pagar dari
kawat.
Gambar 7. Praktek Pembuatan Pagar Kawat
3) Pelatihan ini belum sepenuhnya menggunakan modul dari
BBPLK, tim pengajar menggunakan buku ajar tambahan. Buku ajar tersebut terbitan
PT Safari Indah Lestari bekerjasama dengan Universitas Bengkulu terbitan tahun
1994 dan karangan PSM Bengkulu (Bpk. Zupianuddin, SPd). Pelatihan ini menjadi
rintisan, untuk contoh atau acuan pelatihan sejenis di tempat lain.
b. Pelaksanaan
Praktek
1) Praktek penangkapan babi dilakukan di siang hari secara berkelompok dengan
30 peserta menjadi satu tim, menggunakan strategi penggiring dan penyerang,
dibantu oleh para pemburu sebagai pembuka jalan dan anjing pelacak.
Gambar 8. Anjing pelacak
membantu membuka jalan
2) Penggunaan metode buser menggunakan lapon (jerat) menjadi pilihan karena
menghemat tenaga, biaya dan waktu. Pemasangan lapon di tempat-tempat yang
berpotensi dilewati babi. Lapon yang digunakan berdiameter pangkal antara 40-60
cm dan bagian ujungnya sekitar 20 cm. Lapon dikaitkan kuat-kuat pada kedua
sisinya di tonggak, batang atau bagian dahan kayu yang tegak.
Gambar 9. Lapon (jerat)
3) Metode buser ini bertujuan menangkap babi dalam keadaan hidup. Metode
pengendalian yang umum diterapkan biasanya berburu dengan tombak, panah,
senapan, lubang jebakan dan umpan beracun dianggap menguras tenaga, biaya dan
waktu dan beresiko mendapat serangan balik dari babi ditambah hasinya pun rendah.
4) Tahapan metode buser menggunakan lapon adalah:
ü Pelacakan keberadaan babi, dibantu oleh pemburu dan 6 (enam) orang peserta
yang berpengalaman.Pelacakan dengan melihat bekas telapak kaki pada sarang,
semak, alang-alang dan daun-daun yang rebah.Aliran air bekas mandi babi, dan
tanah bekas babi berguling. Jejak kaki betina nampak runcing nyata sedangkan
jejak kaki jantan tampak belah. Tampak pada gambar berikut:
Gambar 10. Jejak kaki babi hutan
ü Penggropyokan dengan dilengkapi pengaturan strategi, setelah lapon
dipasang, perburuan dimulai pada sisi berhadapan dengan lapon, anjing pemburu
dilepas di area saat pemburuan dimulai.
ü Perburuan dilakukan mengarah pada posisi lapon dengan diiringi kode siul,
didukung dengan suara para pemburu dan anjing pemburu untuk menggaduhkan suara
ketika babi hutan mulai mengarah ke lapon.
ü Kondisi gaduh ini mampu mengacaukan konsentrasi babi hutan agar tidak
memperhatikan lapon dan mudah masuk ke dalam lapon.
ü Akan tetapi jika menempatkan pemburu di sekitar lapon, ia tidak boleh
berteriak karena akan membuat babi takut dan menjauh. Posisinya hanya berfungsi
untuk memukul kepala babi setelah masuk lapon, tepat di hidung agar tidak
bersuara.
5) Selama pelatihan hanya memperoleh 2 (dua) ekor babi betina, selebihnya
lolos dari perangkap karena masyarakat kurang bekerjasama, kurang kompak dan cenderung
belum berani menghadapi babi. Padahal jika menjadi hama, babi yang dapat
tertangkap di daerah lain di Bengkulu mencapai minimal 6 -7 ekor per hari. Area hutan yang terlalu
luas pun menjadi kendala sehingga menyulitkan penangkapan.
Gambar 11. Kegiatan Praktek
Pemburuan Babi Hutan
6) Kendala lain karena minimnya pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan
berburu.Sistem pemburuan masih dilakukan serentak bersamaan 30 peserta menjadi
(satu) tim. Akan lebih efektif jika dibuat 5-6 kelompok yang dikompetisikan
untuk menangkap babi sehingga mereka lebih aktif dan kompak.
7) Penerapan metode imbas dengan mewajibkan 1 (satu) peserta mengajak 3 (tiga)
orang warga bertujuan untuk melibatkan seluruh masyarakat. Akan tetapi praktek
di lapangan menjadi kurang efektif dan terorganisir dengan baik karena tidak
semua aktif bergerak bersama.
Gambar 12. Penerapan Metode
Imbas
c. Penanganan Limbah Babi
1) Babi yang sudah masuk perangkap, diikatkan empat kakinya pada sebilah bambu
atau kayu panjang, agar babi diam dan tidak bersuara biasanya dipukul di bagian
kepalanya.
2)Babi yang tertangkap, dibiarkan tetap hidup, dibawa keluar hutan untuk
diperlihatkan ke warga. Babi yang masih dalam keadaan kaki terikat, dibiarkan
terbaring di tanah dan terkena paparan sinar matahari agar babi menjadi lemas.
3)Babi yang dibiarkan lama terbaring dengan kondisi luka-luka di tubuh akan
mengeluarkan bau busuk, terlebih jika sudah mati maka selanjutkan segera dikubur.
4)Para pemburu terlatih umumnya bekerjasama dengan kebun binatang untuk
mensuplai daging babi hutan sebagai makanan hewan di Kebun Binatang Safari.
Pemesan lain dikirim ke Medan dan Korea setelah dipotong, dikemas dan
dibekukan.
5) Apabila jumlah babi hutan yang tertangkap berjumlah banyak, warga dapat
bekerjasama dengan kelompok pemburu menjadi penyuplai daging babi hutan
tangkapan.(DMA)